Kekristenan dan Perubahan Iklim: Sudahkah Kita Menjalani Panggilan Kita?

Saturday, 01 February 2020


Kita tahu, bahwa bagaimanapun juga, hal ini tidak akan terhindarkan. Dalam keabaian kita, kita tahu bahwa suatu hari kejadian-kejadian seperti ini akan terjadi – dan akan terus terjadi kedepannya. “Dengan keheningan yang mengebaskan, kami melihat beberapa rumah meledak di depan mata kami 1 ,” ujar seorang saksi mata dari musibah kebakaran hutan yang menimpa Australia pada akhir Desember 2019 kemarin. “Kami tahu bahwa kebakaran hutan ini menimpa komunitas masyarakat lainnya yang terletak sekitar 60 kilometer dari tempat kami, tapi kami selalu berpikiran bahwa kami akan baik-baik saja.” Seluruh dunia memandang dengan iba ketika Australia ditimpa musibah kebakaran hutan, setidaknya selama 4 bulan terakhir. Dalam kiprahnya di Benua Kanguru tersebut, setan merah ini telah berhasil melahap habis ribuan rumah serta lebih dari lima juta hektar hutan dan lahan pertanian (pikirkan sebentar seberapa masif luas lahan tersebut). Tidak hanya itu, bahkan banyak ahli memperkirakan bahwa musibah ini juga merenggut nyawa makhluk hidup dalam jumlah yang cukup substansial. Kebakaran liar ini mengakibatkan musnahnya berbagai habitat hewan-hewan asli Australia seperti kanguru, koala, burung, reptil 2 , dan menurut perkiraan ahli, bahkan telah menewaskan 480 juta hewan 3 dan 24 orang. Tentu angka tidak dapat menggambarkan kengerian yang terjadi di negeri tersebut. Musibah ini terjadi dalam konteks di mana, sebelumnya, telah terjadi berbagai kebakaran hutan besar di belahan bumi lainnya. Pertimbangkan, misalnya, kebakaran besar di daerah California, AS, yang juga telah melahap habis 10.300 perumahan serta memakan 77 korban jiwa 4 . Atau, kebakaran besar yang terjadi di Amazon – salah satu surga bagi flora maupun fauna dunia. Atau, pertimbangkan beberapa kasus kebakaran yang terjadi tepat di depan mata kita, di Indonesia, yang sejak tahun 2009 hingga 2019 telah memakan lebih dari 30 jiwa dan mengakibatkan 442.873 orang harus berpindah tempat tinggal. Kita dapat (dan perlu) mengantisipasi bahwa bencana-bencana ini akan terjadi lebih sering lagi dalam waktu kedepannya – jika kita tidak melakukan perubahan. Bagaimana seluruh kengerian ini dapat terjadi? Banyak bukti menunjukkan bahwa manusialah yang perlu disalahkan atas bencana ini. Manusia terlibat secara langsung melalui berbagai tindakannya, mulai dari pembuangan puntung rokok pada area-area hutan yang rawan terbakar hingga pembakaran hutan secara liar. Namun, selain itu, manusia juga terlibat secara tidak langsung dengan tindakan-tindakannya yang memperparah pemanasan global dan perubahan iklim (Climate Change). Melalui perubahan iklim, suhu di berbagai tempat, khususnya daerah-daerah yang rawan terbakar, mengalami peningkatan yang signifikan – sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran. Seolah-olah hal tersebut tidak cukup, berbagai anomali dalam pergerakan angin – seperti makin kencangnya arus angin, meningkatkan penyebaran api serta menciptakan resiliensi kebakaran liar tersebut, membuatnya semakin sulit untuk dipadamkan. Tentunya keadaan dunia dan alam saat ini sangatlah berbeda dengan bagaimana Tuhan membayangkannya pada saat Ia menciptakan-Nya. Kejadian 1:31 mengingatkan kita bagaimana Tuhan memandang seluruh ciptaan-Nya kala itu, “… Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik…” (Kej. 1:31, TB) Divergensi antara dunia yang ‘sungguh amat baik’ dengan dunia saat ini yang, menurut Greta Thunberg, ‘sedang berada dalam fase awal kepunahan massal’ dapat dikatakan terjadi karena manusia telah dipercayai oleh Tuhan untuk mengelolanya. Dalam segala kedaulatan dan kasih karunia-Nya, Tuhan memberikan kepercayaan pada umat manusia untuk mengelola alam serta bumi ini: “…Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi…” (Kej. 1:28, TB) Betapa jauhnya kita dari panggilan untuk mengelola bumi ini dengan baik. Di tengah-tengah kegagalan umat manusia dalam mengelola alam ini dengan bertanggung jawab, apa yang dilakukan orang Kristen – sebagai duta-duta Allah di bumi ini? Saat memikirkan istilah ‘pejuang kelingkungan’, yang muncul dipikiran saya – saya yakin saya tidak sendiri – adalah nama-nama seperti Greta Thunberg, Vanessa Nakate, Isabelle Axelsson. Tapi dapatkah Anda membayangkan satu-dua nama orang Kristen yang juga memperjuangkan isu kelingkungan? Jika mau secara jujur melihat keadaannya, saat ini isu-isu kelingkungan masih terasa jauh dari diskursus orang-orang Kristen, apalagi di Indonesia. Bahkan, keadaan sebaliknya malah terjadi – studi oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa, dibanding kaum yang tidak beragama, orang-orang Kristen (setidaknya di Amerika) cenderung lebih tidak memercayai bahwa manusia-lah yang bersalah atas terjadinya pemanasan global 5 . Bahkan, banyak kaum injili konservatif di Amerika Serikat yang menganggap bahwa perubahan iklim tidak benar-benar terjadi, dan hanyalah kisah fiktif belaka. Banyak orang, termasuk saya, seringkali memikirkan isu perubahan iklim (dan juga isu sosial lainnya) sebagai sesuatu yang jauh dari dirinya. Lebih baik urus hidup dan gereja sendiri terlebih dahulu, deh – begitulah dalih kita. Tapi bagaimana kita bisa mencintai Tuhan jika kita sendiri abai untuk memerhatikan lingkungan sekitar kita? Benarkah kita mengasihi Tuhan apabila kita tidak mengasihi dan memelihara ciptaan-Nya? Jika kita tidak pernah memikirkan kelangsungan alam dan dunia ini, maka patut dipertanyakan juga – benarkah kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan? Sejarah menunjukkan bahwa Kekristenan memberikan dampak pada dunia ketika ia bersifat kontra-kultural (countercultural). Mereka terus setia menyuarakan suara kenabian yang seringkali bertentangan dengan keinginan masyarakan/pemerintah zaman itu. Pertimbangkan, misalnya, Yohanes Pembaptis, yang berani menegur Raja Herodes karena telah menikahi istri saudaranya, Filipus – meskipun teguran tersebut pada akhirnya merenggut nyawanya sendiri. Atau pertimbangkan seorang Kristen bernama William Wilberforce, yang bersama dengan rekan-rekannya memperjuangkan, dan pada akhirnya berhasil menghapus perbudakan di Inggris pada abad ke-19. Sanggupkah kita melakukan hal yang sama dalam menyikapi berbagai isu spesifik di zaman kita, termasuk perubahan iklim? Saat saya secara jujur memikirkan isu ini, saya merasa malu dengan diri saya. Selama ini, saya banyak abai dalam menjalankan panggilan saya sebagai duta Allah di dunia ini, termasuk dalam panggilan untuk memelihara alam ciptaan-Nya. Namun, “Apa yang saya bisa lakukan?” pikir hati kecil saya. Setidaknya saya terpikir tiga hal. Hal yang pertama, dan yang paling penting untuk kita lakukan, adalah berdoa. Seberapa banyak engkau dan saya masih memiliki hati bagi dunia dan lingkungan tempat kita tinggal ini? Kita mungkin menemukan bahwa kita selama ini tidak pernah memikirkan akan isu-isu ini. Kerinduan serta kepedulian tersebut merupakan anugrah dari Tuhan, sehingga hanya Tuhan yang sanggup memberikannya pada kita. Maka dari itu, kita berdoa supaya kita memiliki concern akan isu ini – supaya kita bisa lebih sungguh-sungguh dalam menjalani peran kita sebagai duta besar Allah di dunia ini. Yang kedua, mari kita selalu mengingatkan diri kita untuk peka terhadap lingkungan sekeliling kita. Salah satu sebab kita abai mengenai isu-isu sosial seperti ini adalah karena seringkali kita cenderung berfokus pada hidup kita sendiri. Apa yang saya mau? Apa yang saya suka? Apa yang ingin saya jalani? Namun kita jarang memikirkan apa yang Tuhan mau kita kerjakan ditengah-tengah konteks kita. Kita jarang memikirkan apa yang dibutuhkan oleh dunia ini. Kita jarang memikirkan apa yang dapat kita lakukan untuk menjadikan dunia ini sebuah tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Yang terakhir, mari kita mulai mengambil langkah aktif dan tegas dalam isu kelingkungan. Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab oleh setiap kita adalah bagaimana, di tengah-tengah konteks yang saya miliki, saya dapat menjadi pengelola alam dan ciptaan Tuhan yang baik? Bukan berarti langkah terbaiknya adalah bagi kita semua untuk meninggalkan dan menjual semua kendaraan pribadi. Tentunya kita berada dalam konteks hidup yang berbeda-beda. Namun, apakah kita masih menggunakan kendaraan pribadi, selagi kita jelas-jelas bisa menggunakan transportasi massal? Apakah, dalam keseharian kita, kita masih seringkali membuang sampah sembarangan? Mungkin hal-hal tersebut terdengar seperti langkah kecil. Namun langkah kecil, sekiranya dilakukan secara kolektif, akan sanggup memberikan dampak yang besar. Lebih lagi, dengan menggumulkan hal ini secara serius, kita juga sedang menunjukkan usaha kita untuk menjalankan panggilan Tuhan bagi umat-Nya, yakni untuk menjadi pengelola yang baik akan alam ciptaan-Nya. ***** Referensi 1. https://www.vox.com/2020/1/24/21063638/australian-bushfires-2019-experience 2. https://tirto.id/penyebab-kebakaran-hutan-australia-yang-musnahkan-habitat-satwa-eqKp 3. https://www.vox.com/2019/12/30/21039298/40-celsius-australia-fires-2019-heatwave-climate- change 4. https://www.vox.com/2018/8/7/17661096/california-wildfires-2018-camp-woolsey-climate-change 5. https://www.pewresearch.org/science/2015/10/22/religion-and-views-on-climate-and-energy- issues/

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?