Di Antara Padang Gurun dan Puncak Gunung

Monday, 20 July 2020


“Menghadapi kondisi penuh ketidakpastian dan keyakinan bahwa sepanjang vaksin belum ditemukan, tentu tidak ada pilihan lain bahwa kita harus belajar hidup dengan virus korona…” (Harif Amali Rivai, 2020) “… tidak ada pilihan lain…”, ucap seorang dosen dari salah satu universitas ternama di Sumatera Barat. Suatu ungkapan yang menunjukkan kepasrahan di era New Normal ini terdengar memaksa kita menelan pil pahit sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Saya pikir-pikir rasanya lebih mudah bangkit dari kegagalan dan berusaha mencari 1001 cara lain dibanding harus belajar menerima kenyataan pahit dan hidup di dalamnya tanpa kejelasan sampai kapan ini semua akan berakhir. Seolah-olah berita dukacita tentang COVID-19 yang melanda hampir seisi dunia ini belum cukup membuat jiwa saya meratap, saya kembali tertegun mendengar isu-isu keluarga yang bermunculan, mulai dari hal yang paling kecil sampai yang ekstrem. Faktanya, isu keluarga ini bukan isu yang baru pertama terjadi, ada jutaan atau miliaran lebih orang di dunia yang pernah mengalaminya – seperti kepergian orang terkasih karena situasi tertentu; kepahitan anak terhadap orang tua atau sebaliknya; perselingkuhan dalam rumah tangga; perselisihan antar usaha keluarga, dan masih banyak isu lain yang mungkin merupakan pengalaman pribadi Anda dan saya. Lantas apa yang membuat saya tertegun? Bukankah seharusnya saya tidak perlu terkejut lagi, karena itu sudah menjadi hal yang lazim? Benar, memang saya tidak lagi terkejut dengan fakta-fakta pahit di luar ruang lingkup kehidupan saya. Namun harus saya akui, rasa kejutnya sungguh berbeda ketika kisah-kisah tersebut datang dari orang-orang terdekat, ditambah lagi ini adalah kali pertama masalah-masalah yang muncul secara bertubi-tubi dalam jumlah yang tidak sedikit dan bersamaan dengan krisis global. Apa yang disampaikan terasa begitu nyata, hingga menyita ruang-ruang dalam benak saya, merasuk ke dalam keseharian saya, sampai-sampai mempengaruhi cara saya menjalani hari-hari kehidupan ini. Dalam keheningan malam, saya pun rela terjaga agar tidak melewatkan kesempatan merenungi apa yang terjadi untuk memahami kondisi dan mencari solusi supaya bisa cepat-cepat keluar dari situasi yang tidak nyaman ini, meskipun pada akhirnya saya disadarkan bahwa ingin cepat-cepat mencari cara keluar tidak sama dengan mencari jalan keluar. Anggaplah terjadi kebakaran di sebuah gedung bertingkat, kalau saya ingin cepat-cepat mencari cara keluar, saya akan segera berlari ke arah jendela, memecahkan kacanya dan lompat dari sana. Akankah saya mati? Kemungkinan besar iya, tapi yang penting tujuan saya untuk cepat-cepat keluar dari gedung tersebut dapat terpenuhi. Berbeda dengan mencari jalan keluar, baik melalui tangga darurat atau jalur evakuasi, saya akan menelusuri jalan yang telah disediakan dan memastikan diri saya keluar hidup-hidup. Seringkali cepat-cepat mencari cara keluar membuat kita tidak benar-benar menelusuri jalan di mana pintu keluar itu seharusnya berada. Alih-alih menemukan jalan keluar, kita malah melakukan tindakan gegabah karena terburu-buru mengambil keputusan. Lagipula, tidak ada jaminan bahwa cara tercepat selalu menjadi cara terbaik. Di samping itu, masih ada skenario terburuk yang memunculkan tanda tanya besar buat saya: bagaimana jika kondisi kekacauan ini memang bukan untuk dicari jalan keluarnya? Mari berkaca sejenak dari perjalanan Musa memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir menuju Tanah Perjanjian, nampaknya tanpa iming-iming Tanah Perjanjian pun, sudah menjadi suara hati seorang budak untuk cepat-cepat pergi dan membebaskan diri dari penindasan yang ada di depan mata – yang penting cepat-cepat menuju hidup yang lebih nyaman. Namun seperti yang kita tahu, perjalanan bangsa Israel setelah keluar dari Mesir sama sekali bukan perjalanan yang mulus. Ada masa di mana bangsa Israel melontarkan kalimat-kalimat penyesalan kepada Tuhan melalui Musa karena telah membawa mereka keluar dari perbudakan dan lebih memilih untuk kembali ke Mesir (Kel. 17:3); tidak sedikit juga tindakan menyimpang yang diperbuat bangsa Israel, hingga Tuhan murka (Kel. 32); termasuk Musa, sebagai orang pilihan Allah, juga tidak luput dari kesalahan yang membuat ia dan generasi pertama yang keluar bersamanya dari Mesir gagal masuk ke Tanah Perjanjian (Bil. 20:7-13). Bayangkan bila kita berada di posisi Musa pada masa-masa sulit itu, saya rasa wajar-wajar saja jika Musa menjadi sangat tidak sabar, kesal, gundah-gulana karena diprotes banyak orang, padahal ini seruan mereka sendiri untuk keluar dari perbudakan Mesir. Bukankah kita juga dapat menilai kalau Tuhan terlalu kejam dengan tidak mengizinkan Musa masuk ke Tanah Perjanjian hanya karena perbedaan cara mengeluarkan air dari gunung batu? Bahkan sampai memperpanjang pengembaraan mereka di padang gurun sampai 40 tahun lagi. Toh, Musa tetap melakukan yang Tuhan minta, biarpun dengan cara yang berbeda. Apalagi Musa sudah sering melakukan pekerjaan Tuhan dan mengesampingkan egonya; naik-turun gunung, berhari-hari di hadirat Tuhan mengukir loh batu, lalu di dalam segala kekesalannya terhadap bangsa Israel yang tidak tahu berterimakasih, Musa tetap setia menuntun kembali bangsa Israel kepada Tuhan. 40 tahun lagi di padang gurun, ya Tuhan, 40 tahun lagi? Sudah tidak asing lagi di telinga kita ketika Musa dipanggil dan dipilih Tuhan, ia adalah seorang yang suka berargumen. Pada waktu Tuhan memperpanjang pengembaraan Musa di padang gurun sebanyak 40 tahun lagi dan tidak mengizinkan Musa menyeberang ke Tanah Perjanjian, sebenarnya ia bisa saja bernegosiasi dengan Tuhan seperti yang lalu-lalu atau berargumen untuk mencari pembenaran diri. Hanya saja kali ini Musa diam. Ya, Musa diam, tidak ada argumen yang keluar dari mulutnya. Musa menerima keputusan yang telah ditentukan Tuhan layaknya hidup yang sudah benar-benar penuh, cukup dipuaskan, dan tidak lagi membutuhkan apa-apa di luar Tuhan. Perubahan yang terjadi ini tentunya bukanlah proses yang cepat dan mudah, kita menyaksikan sendiri kisah perjalanan Musa selama 120 tahun masa hidupnya, sebagian besar ia habiskan di padang gurun. Namun di akhir hidupnya, bukan kepuasan yang didapat dari menikmati Tanah Perjanjian yang telah membawa Musa sampai kepada kepenuhannya, melainkan perjumpaan-perjumpaannya dengan Tuhan di masa sulit itulah yang telah membuka mata hati Musa dan melahirkan pengenalan akan Tuhan melebihi apapun. Bagi Musa, “Tanah Perjanjian” yang dapat memuaskan jiwanya terletak pada perjumpaan muka dengan muka, serta kehadiran Allah itu sendiri di dalam hidupnya. Tidak peduli berapa lama waktu yang ia habiskan dan betapa sulit medan yang harus dilaluinya. Ia menyadari pengalaman bertemu dengan Tuhan sambil menikmati keindahan Tanah Perjanjian di sisa hidupnya jauh, jauh lebih berharga dari pencapaian apapun. Mungkin bagi kita, masa-masa New Normal ini termasuk “padang gurun” yang identik dengan hari-hari buruk; keterpurukan, keputusasaan, kesulitan yang tiada akhir. Ke mana mata memandang tidak ada mata air yang menyegarkan, rasanya sudah terlalu melelahkan dan hilang arah. Pokoknya, kita hanya ingin cepat-cepat mencari cara keluar dari “padang gurun” untuk mencari “Tanah Perjanjian” versi kita, yang kita anggap lebih menjanjikan – entah itu harta, tahta, martabat, solusi, relasi, kesembuhan, dll. Saya yakin argumen pembelaan untuk Musa yang saya lontarkan di atas juga sudah cukup menggambarkan ketidaksabaran saya terhadap situasi sulit yang terpampang di depan mata. Namun menyaksikan teladan hidup Musa, membuat saya kembali mengharmonisasikan ritme langkah kaki ini dengan langkah kaki Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana jika tujuan utama Tuhan menjumpai kita ternyata bukan cepat-cepat menuntun kita kepada jalan keluar? Apakah kita siap meneladani Musa yang dengan tenang menerima apapun keputusan Tuhan tanpa berargumen lagi? Karena Musa mengajarkan kita untuk percaya, di mana Tuhan berada, di situlah terletak kepuasan yang sejati. Ditulis oleh: Cindy Hendrietta

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?