Menuju ke Tempat Perisolasian

Tuesday, 16 March 2021


Bagi sebagian besar orang, kata isolasi dalam waktu setahun terakhir ini menjadi hal yang sangat akrab dengan keseharian kita.  Padahal kalau kita telusuri lebih lagi, kejadian-kejadian bertemakan isolasi ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru.  Terisolasi dari teman-teman seperjuangan, 1.308 orang pejuang nasional pada tahun 1926 silam, diasingkan ke suatu pulau karena dianggap melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda; Terisolasi dari aktivitas yang biasa dilakukannya bertahun-tahun di gereja, Martin Luther pada tahun 1521 terpaksa hidup bersembunyi dari publik agar tidak dianggap menjadi sebuah masalah bagi kaum rohaniwan masa itu; Pada tahun 95, Rasul Yohanes diasingkan ke Pulau Patmos karena memberitakan Injil—terisolasi dari panggilan hidupnya; Mundur lebih jauh lagi, pada abad ke-9 SM, Nabi Elia melarikan diri karena diancam akan dibunuh oleh Izebel, Istri Raja Israel waktu itu—terisolasi dari kaum sebangsanya, seorang diri di padang gurun.

Kisah-kisah isolasi seperti di atas pastinya tidak lagi menjadi buah pemikiran kita di masa kini karena tidak berkaitan secara langsung dengan kehidupan kita, terlebih lagi hal itu sudah terjadi di masa lampau dan belum tentu terulang lagi di masa sekarang.  Tapi pernahkah Anda membayangkan menjadi bagian dari salah satu orang yang terisolasi itu? Atau lebih ekstrem lagi, pernahkah Anda secara sadar mengisolasi diri sendiri dari kerumunan begitu banyak orang sampai-sampai hanya tersisa diri Anda dan pikiran Anda yang bertanya-tanya “apa yang sedang saya lakukan di sini?.”

Kita sama-sama tahu bukan hal yang mudah untuk membiasakan diri terlepas dari kesibukan, duduk terdiam tanpa jadwal apapun dalam agenda kita.  Rasanya kita terlihat seperti orang kurang berguna bukan?  Bahkan di masa-masa pandemi seperti sekarang ini, kita masih terus-menerus mencari cara efektif dan efisien untuk menyelesaikan pekerjaan kita dari rumah, malahan semakin banyak orang mencari kesibukan baru karena merasa sudah terlalu lama “diisolasi” oleh protokol kesehatan.  Seringkali kita terjebak di dalam keterikatan terhadap suatu hal yang selama ini kita anggap meningkatkan prestasi untuk membangun identitas kita, entah itu pekerjaan kita, sosial media kita, mungkin pula peran kita dalam suatu komunitas, dan masih banyak lagi rentetan usaha kita untuk mengejar aktualisasi diri.

Sadarkah kita, ketika kita berada dalam kondisi terisolasi atau secara sengaja mengisolasikan diri dari kebisingan dunia, sebenarnya kita baru bisa melihat diri kita lebih jelas, lebih jujur, lebih murni untuk menentukan arah langkah kita karena kita terlepas dari segala tuntutan yang ditujukan pada diri kita, baik tuntutan dari orang lain maupun pengejaran-pengejaran dari dalam diri kita?  Di tengah proses berdiam dalam “ruang isolasi” itulah kita baru bisa berhenti membela diri kita dan melihat kondisi diri kita yang sesungguhnya, kita baru bisa menyerah atas usaha-usaha kita untuk memperhitungkan hasil dari rencana perjalanan hidup kita karena akhirnya kita melihat bahwa semua itu ada di luar kendali kita, di luar kemampuan kita.

Masa isolasi sejatinya tidak akan pernah menjadi proses yang mudah, bahkan bisa dikatakan proses yang menyakitkan karena selain dipisahkan dari hal-hal yang kita anggap menjadi penopang terkuat dalam hidup kita, kita juga secara perlahan harus belajar untuk melepaskan diri dari ikatan yang kita pegang erat selama ini dan menjauhkan diri dari keinginan hati kita yang tidak sejalan dengan keinginan hati Tuhan.  Namun di tengah-tengah proses yang menyakitkan itu jugalah Tuhan menunjukkan anugerah-Nya yang mendamaikan, anugerah kedamaian yang dapat kita rasakan saat kita benar-benar siap membawa diri yang bobrok secara terbuka di hadapan Tuhan.  Sebagaimana kita mengijinkan diri kita masuk ke dalam kebobrokan kita, di sanalah kita menemukan diri kita dipulihkan oleh kasih—kasih yang melampaui identitas kita sebagai manusia berdosa; kasih yang tidak menghakimi sikap arogan kita sebagai manusia yang ingin merebut kendali atas hidup kita; kasih yang lebih dari sebuah kata tanpa perbuatan yang menuntun kita kepada satu Pribadi yang merupakan bentuk nyata dari Kasih itu sendiri—Tuhan Yesus Kristus sebagaimana tertulis dalam Yohanes 3:16.

Maukah kita hari ini juga mengumpulkan keberanian untuk berpartisipasi penuh menelusuri jalan menuju “tempat perisolasian” itu? Mari dengan kerendahan hati kita meneladani Pemazmur dalam pergumulan hidupnya, semelelahkan apapun, ia tetap datang menghadap Tuhan dengan doa demikian:

Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik;
tetapi penderitaanku makin berat.
Hatiku bergejolak dalam diriku, menyala seperti api,
Ketika aku berkeluh kesah; aku berbicara dengan lidahku:
"Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku,
supaya aku mengetahui betapa fananya aku!
Sungguh, hanya beberapa telempap saja Kau tentukan umurku;
bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang hampa.
Ya setiap manusia hanyalah kesia-siaan!
Sela


Mazmur 39:2-5 (TB)

Siapkah hati kita berjalan menuju tempat perisolasian dan menemukan Kasih itu? —Kasih yang tidak akan kehilangan jejak meskipun kita masuk ke dalam kegelapan hati yang tergelap, Kasih yang bisa menggapai lubang kejatuhan kita yang terdalam, Kasih dengan kuasa untuk memulihkan segala kebobrokan yang ada dalam diri kita.

Kasih itulah yang menjadi landasan kedamaian apapun dan bagaimanapun kondisi yang terjadi dalam hidup kita.  Oleh karena itu, Kasih itu sepadan dengan berapapun harga yang harus kita bayar untuk menemukan-Nya.


Disusun oleh: Cindy Hendrietta

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?