Berurusan dengan Keraguan Iman di Zaman Dekonstruksi

Thursday, 29 April 2021


Kita sedang hidup di zaman dekonstruksi (proses terkikisnya identitas dan/atau idealisme diri kita).  Suka atau tidak, dekonstruksi ini juga mempengaruhi perkembangan iman kita.  Pada masa ini, segala hal yang sifatnya ideal dipisahkan dari hal lainnya yang sifatnya buruk.  Lukisan mural George Washington, misalnya, ditimpa dan digambar ulang dengan lukisan lain karena dulu ia memiliki budak.  Semangat Bhinneka Tunggal Ika semakin terkikis oleh gerakan tribalisme (suatu keadaan yang diorganisir oleh kesukuan)  yang semakin fundamental.  Pada masa ini, tidak ada ide apapun yang tidak dikritisi, pun tidak ada pemikiran yang tidak menjadi obyek skeptisisme maupun dorongan untuk mengendalikan hasil akhirnya. 
Dalam lingkaran kekristenan, proses dekonstruksi mengambil bentuk yang sedikit berbeda.  Justru, keraguan dan kekecewaan dengan iman dianggap sebagai bentuk baru dari ‘pencerahan’, atau enlightenment.  Membagikan keraguan iman kita justru terdengar seolah-olah lebih autentik ketimbang membagikan keyakinan iman kita dengan penuh kepercayaan.  Kita melihat banyak pemimpin-pemimpin Kristen ‘melepaskan diri’ dari iman, seperti terlepas dari rantai yang tidak terlihat.  Hal ini melemahkan semangat kita dan ikut menimbulkan keraguan dalam diri kita sendiri.
Meskipun Alkitab tidak pernah ‘mengagungkan’ keraguan iman, tidak dapat dipungkiri, keraguan iman merupakan sebuah hal yang tidak terhindarkan, khususnya di zaman sekuler yang kita hidupi sekarang ini.  “Aku percaya, tolonglah ketidakpercayaanku” merupakan sebuah pengakuan akan keraguan iman dan karena orang tersebut mengakuinya dengan rendah hati di hadapan Tuhan Yesus, ia justru dipuji dan tidak ditegur oleh Tuhan Yesus (Markus 9:24).  Mungkin inilah saatnya bagi kita untuk kembali melihat bagaimana keraguan dan kekecewaan dengan iman Kristen justru dapat memperdalam iman kita, ketimbang menghancurkannya.
Orang Kristen Memiliki Sudut Pandang Yang Berbeda
Keraguan dan/atau kekecewaan dengan iman Kristen bisa muncul dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk keraguan terhadap Tuhan, terhadap umat-Nya, ataupun terhadap kehidupan secara umum.  Tapi keragu-raguan tersebut tidak seharusnya menghancurkan iman kita.  Iman Kristen mengakui bahwa injil Yesus Kristus merupakan pewahyuan ilahi dari Tuhan yang hidup, melewati segala kebudayaan dan segala waktu.  Injil adalah benar secara objektif.  Oleh karena pewahyuan itu benar adanya, maka tidak peduli kabut apapun yang saat ini menutupi pandangan kita, atau keraguan maupun kekecewaan iman, tidak semestinya mengancam kebenaran iman tersebut. 
Sebagai konselor, saya pun pernah bergumul dengan keraguan dan kekecewaan yang saya dengar dari banyak pemimpin/pelayan lainnya.  Saya tahu bahwa ini benar: tidak ada satu orang pun yang dapat melarikan diri dari pengalaman ini, jika kita jujur dengan diri sendiri.  Keraguan dan kekecewaan iman adalah ritus (tindakan dalam bidang keagamaan yang bersifat seremonial dan tertata) peralihan yaitu proses yang terjadi secara alami, di mana proses ini biasanya terjadi secara intensif pada usia 30-an dan/atau 40-an seseorang.  Pada usia tersebut, menjadi sangat jelas bahwa pernikahan, pelayanan dan menjaga kesehatan tubuh kelihatannya jauh lebih sulit daripada saat berada pada usia 20-an. 
Namun, pengalaman keraguan yang sebenarnya, bisa membuat kita merasa kehilangan arah.  Tapi, jangan sampai kita mencampur-adukkan rasa kehilangan arah tersebut dengan esensi iman kita.  Sebagaimana Paulus memperingatkan kita, justru pada saat itulah kita perlu menjaga diri dari kemungkinan “disesatkan dari kesetiaan yang sejati kepada Kristus” (2 Korintus 11:3).
Apa Yang Perlu Kita Lakukan Dengan Keraguan Yang Muncul?
Lalu, apa yang kita perlu lakukan saat keraguan maupun kekecewaan iman itu muncul?  Jika Anda sama seperti saya dan banyak orang lainnya, maka refleks utama kita adalah mengencangkan sabuk dan menarik diri: lebih baik tidak ada orang yang tahu pergumulan jiwa dan keraguan iman saya!   Namun, sebenarnya mengisolasi diri dan bergerak menyendiri tidak akan membuat keadaan kita jadi lebih baik.  “Dosa mendorong orang untuk menyendiri,” kata Dietrich Bonhoeffer.  Justru saat-saat sendiri tersebut adalah momen di mana diri kita paling rentan.  Saat sendirian, pikiran kita dapat berhamburan dengan begitu kacaunya dan jiwa kita dapat menjadi semakin dingin dan keras bagaikan batu.
Maka itu, kita perlu melewati masa-masa keraguan dan kekecewaan iman dengan menggumulinya bersama dengan Tuhan dan saudara-saudara seiman kita.  Melalui cara paradoks inilah keraguan kita justru dapat memperdalam iman kita. Anda tidak perlu melewatinya sendirian.  Anda bisa, bahkan perlu melewati pengalaman ini bersama dengan Tuhan yang telah merangkul Anda ke dalam sebuah relasi yang nyata dan yang tidak menahan diri-Nya hingga Anda kembali menemukan jalan Anda.
Yeremia seorang tokoh Alkitab, mencerminkan kenyataan ini melalui cara yang amat personal. ? Kita sebagai pembaca Alkitab diundang untuk menyaksikan percakapannya dengan Tuhan pada titik terendah dalam hidupnya.  Ratapan 3 berisi perkataan-perkataan yang dapat dianggap sebagai kata-kata keraguan/kekecewaan terkuat dalam Alkitab: Yeremia telah dilemparkan ke dalam lubang, diperlakukan secara semena-mena oleh pemimpin umat Yahudi lainnya, dan juga umat Allah.  Pada masa itu, ia meragukan semua yang telah ia ketahui, termasuk Tuhan.  Engkau telah menjadikan saya sebagai sebuah sasaran latihan. ? Engkau laksana beruang yang sedang menanti-nantikan untuk memangsaku.  Engkau telah memenuhi aku dengan kepahitan.  Yeremia bergumul dengan keraguannya tentang Tuhan dan ia tetap bersama Tuhan.  Perlahan-lahan, kabut mulai pudar.  Anda dapat mendengar sebuah helaan napas yang amat dalam pada ayat berikut: “Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya.” (Ratapan 3:22). 
Ketika membaca lebih lanjut, kita dapat menemukan bahwa rekan Yeremia,  seorang berkebangsaan Ethiopia bernama Ebed-Melek berada di latar belakang cerita tersebut, di mana ia memohon kepada raja untuk melepaskan Yeremia.  Seperti Yeremia, terkadang kita tidak se-sendiri seperti yang kita bayangkan.  Tuhan memakai banyak orang lainnya untuk membebaskan kita dari lubang kekecewaan/keraguan iman.  Terkadang kita menyadarinya. Namun seringkali tidak.
Kehidupan Yeremia menunjukkan pada kita sebuah ritme misterius tentang bagaimana keraguan dan kekecewaan iman justru menjadi penopang dan penguat iman, sehingga iman kita semakin memiliki kedalaman dan substansi. 
Terbebas Dari Keraguan
Ada suatu perasaan yang amat membebaskan ketika kita menyadari bahwa meskipun mimpi-mimpi kita tidak menjadi nyata, meskipun kita tidak menyadari apa yang sedang Tuhan kerjakan dalam hidup kita, Ia ada disana.  Segala sesuatu di sekitar saya berubah, tapi Tuhan tidak.  Saya tidak sendiri.
Dengan cara inilah, keraguan dapat digunakan Tuhan untuk membangun iman.  Banyak orang-orang Kristen menganggap keraguan serta kekecewaan iman sebagai suatu cara yang diperlukan untuk mematangkan iman kita. (Tentunya, Alkitab tidak pernah menganggap keraguan sebagai suatu hal yang baik. Tapi Alkitab mengasumsikan bahwa keraguan akan selalu menjadi bagian dari pengalaman kita di dunia yang berdosa dan akan selalu mendorong kita berdekat dan menuju Tuhan).  Keraguan akan iman tentu bukan sebuah pengalaman yang seru, tetapi proses itu jelas membuat kita melepaskan ilusi-ilusi yang perlu kita lepaskan.  Ide-ide lama kembali dibentuk.  Ada sebuah kerendahan hati yang muncul saat kita menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak mengetahui apa yang kita kira kita tahu dan apabila kita membiarkan proses tersebut berjalan, kita akan memiliki dasar yang lebih sederhana dan semakin dalam, karena Tuhan yang kita percayai telah mengambil rupa manusia dan telah mengalahkan maut.
Keraguan dan kekecewaan iman seharusnya menjadi alasan yang terakhir untuk kita tinggalkan/lepaskan dari iman kita.  Apabila Anda menggumulkannya bersama dengan Tuhan dan dengan sesama Anda akan menemukan rasa syukur yang tak terduga seperti yang diceritakan oleh Charles Spurgeon; “Aku mengucap syukur kepada Tuhan,” pikirnya, “atas setiap badai yang meluluh-lantakkan diriku dan membawa aku kepada Batu Karang yaitu Yesus Kristus.”

Ditulis oleh: Paula Rinehart (The Gospel Coalition)
Diterjemahkan oleh: Sean Hambali

 

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?