Doa Bukan Sekadar Percakapan

Monday, 14 June 2021


Kita sering mendengar bahwa berdoa kepada Allah itu seperti bercakap-cakap dengan Allah:  Kita bicara dan Allah balik berbicara.  Kita meminta dan Allah mengabulkan.  Namun mungkin kita menjadi frustrasi ketika percakapan itu tidak terjadi sebagaimana yang kita harapkan: ketika Allah tampak diam seolah tidak mendengar doa kita; ketika Allah tidak berbicara secara spesifik kepada kita; ketika kita berharap ada bagian Kitab Suci yang berbicara sesuatu kepada kita namun nyatanya tidak ada.  Mungkin kita salah mengartikan apa artinya berdoa dan bagaimana cara Allah menjawab doa kita.  Mungkin Allah sebenarnya sedang berbicara kepada kita namun kita tidak menyadarinya.  Semoga artikel di bawah ini membuka wawasan kita tentang doa yang tidak selalu berupa kata-kata dan bahwa Allah mendengar doa kita serta meresponinya melampaui apa yang kita pikirkan.
Doa Bukanlah Percakapan
Pernahkah kita berdiskusi dengan anak kita dan berakhir dengan kita menganggap dia tidak mendengarkan kata-kata kita, sedangkan anak kita sebenarnya mendengarkan perkataan yang kita ulangi berkali-kali tetapi tidak dapat memahaminya?  Kita pikir model komunikasi yang sederhana itu cukup:
- Saya (pengirim pesan) memiliki suatu ide (Iogos)
- Saya menggunakan kata-kata (rhemata) untuk menyatakan ide saya
- Anda (penerima pesan) mendengar kata-kata (rhemata) dan sekarang memiliki ide (logos) yang sama dengan yang saya miliki.
Namun percakapan tidaklah terjadi sesederhana itu.  Percakapan bukan sekadar pengirim pesan mentransfer ide-ide ke penerima pesan.  Ada banyak faktor yang dapat menciptakan gangguan: artikulasi yang buruk, komunikasi nonverbal (tanpa kata), suara bising, riwayat pribadi, perbedaan budaya.  Hanya mengulangi kata yang sama terus-menerus – dan menganggap kesalahpahaman yang terjadi adalah murni kesalahan si penerima pesan – merupakan pendekataan yang naif atas komunikasi.  Hal ini juga akan membuat frustrasi.  Semuanya ini membuat saya berpikir tentang doa yang sering digambarkan sebagai percakapan dengan Allah.
Sejujurnya, sebagian besar doa yang saya panjatkan adalah monolog.  Saya memberitahu Allah apa yang ada di dalam pikiran saya, dan selesailah doa saya.  Komunikasi berjalan satu arah.  Bahkan seringkali saya tidak membahasakan doa-doa saya.  Saya hanya menyampaikan kata-kata yang ada di kepala saya.  Tentu saja tidak ada halangan bagi Allah untuk memahami pikiran saya (Mzm. 139:4), dan karena Ia dapat membaca pikiran saya, saya tidak perlu khawatir Allah akan salah paham.
Tetapi jika Allah yang menyatakan diri-Nya juga adalah pengirim pesan dan tidak hanya penerima pesan,  bagaimana cara-Nya Dia “menjawab?”  Ada yang berkata, Dia menaruh pikiran-pikiran dalam kepala kita, atau Dia akan menarik perhatian kita pada bagian Alkitab tertentu.  Tetapi bukan itu yang dilakukan-Nya dalam catatan Alkitab di Perjanjian Baru.
Komunikasi Verbal
Alkitab tidak memakai bahasa percakapan ketika berbicara tentang doa, melainkan seringkali doa digambarkan sebagai pujian, ratapan, ucapan syukur, pengakuan dan permohonan – tindakan sepihak.  Namun doa tidak selalu komunikasi satu arah.  Setelah Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa dan memuliakan nama-Nya, maka “terdengarlah suara dari sorga” yang berkata “Aku telah memuliakan-Nya dan Aku akan memuliakan-Nya lagi” (Yoh. 12:28).  Orang banyak yang mendengarnya berkata bahwa itu bunyi guntur sementara yang lain berkata itu suara malaikat (ay.29).  Tetapi di saat yang lain suara dari sorga seringkali ditafsirkan sebagai suara Allah (Mat. 3:17; 17:5; Why. 4:1).
Ketika Paulus berdoa kepada Allah untuk menyingkirkan duri dalam dagingnya, Tuhan menjawabnya, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor. 12:8-9).  Apakah Paulus mendengar suara atau hanya merasakan respon Allah secara spiritual atau mental, kita tidaklah tahu.  Tetapi kemungkinan besar Allah berbicara kepadanya secara verbal.  Bukankah sebelumnya Paulus mendengar suara dari sorga berbicara kepadanya dalam perjalanannya ke Damsyik (Kis. 9:3-6).  Bagaimanapun, kejadian seperti yang dialami Yesus maupun Paulus ini jarang terjadi.
Contoh untuk melihat kepada bagian tertentu dalam Alkitab ketika berdoa bahkan lebih jarang lagi terjadi dalam Perjanjian Baru, meskipun ini tidak berarti bahwa Alkitab tidak menjawab doa orang percaya mula-mula.  Dalam zaman Perjanjian Baru, orang tidak memiliki Alkitab sendiri.  Mereka harus pergi ke sinagoge untuk mendengar Alkitab dibacakan.  Dan mereka lebih dari sekadar mendengarkan; mereka melafalkan bagian Kitab Suci dan menyanyikan Mazmur.  Firman Tuhan tertulis dalam hati mereka.  Itulah sebabnya jemaat mula-mula dapat melafalkan bagian Kitab Suci ketika mereka berdoa.  Bagi mereka, Alkitab menolong mereka untuk berkata-kata kepada kepada Allah, lebih daripada sebagai jawaban spesifik Allah atas permohonan mereka.  Dan bukankah itu pula yang terjadi sampai sekarang?  Saya menemukan diri saya sendiri berdoa ketika anak saya menjalani operasi dan saya menaikkan lagu yang diambil dari ayat Alkitab.  Seolah-olah Roh Kudus “mengatakan perkataan hikmat” untuk mengarahkan hati saya kepada-Nya dan menghibur saya.
Respon yang Melampaui Kata-Kata
Bila kita ingin memahami sejauh mana doa adalah suatu percakapan, kita harus merenungkan pekerjaan Roh Kudus.  Paulus berkata, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rom. 8:26).
Bukankah umum terjadi dalam relasi sosial ketika orang tidak dapat berkata-kata saat meresponi berita yang menghancurkan hati.  Kadang-kadang komunikasi nonverbal berbicara lebih kuat.  Misalnya, rintihan ibu yang kehilangan bayinya, atau erangan ayah yang kehilangan anaknya dalam kecelakaan mobil.  Dan jikalau kita hendak menghibur mereka yang sedang berduka, kadang-kadang kata-kata malahan menambah luka mereka.  Komunikasi nonverbal – seperti pelukan atau kehadiran secara fisik – lebih memberi penghiburan.
Sama seperti kadangkala kita tidak tahu bagaimana harus meresponi orang lain, kita tidak selalu tahu bagaimana harus berdoa.  Saat kita kehabisan tenaga atau iman untuk berdoa, yang dapat kita lakukan hanyalah mengeluh kepada Tuhan, karena kita tahu bahwa Ia mengerti frustrasi dan penderitaan kita.  Menurut Paulus, inilah contoh doa di mana Roh Kudus menginspirasi kita.  Doa tidaklah dibatasi oleh bahasa manusia yang dapat dipahami.  Tuhan juga memahami dan menginspirasikan komunikasi nonverbal.
Dan mungkin inilah cara Tuhan berkomunikasi dengan kita.  Doa yang terjawab adalah bentuk komunikasi nonverbal.  Permohonan yang kita panjatkan didasari pada keyakinan bahwa Tuhan mendengar doa kita dan akan memenuhi kebutuhan kita pada waktu-Nya.  Mungkin Tuhan tidak berbicara lewat kata-kata namun Ia merespon.
Perjanjian Baru dipenuhi contoh komunikasi nonverbal.  Ketika 11 orang rasul bertanya kepada Tuhan siapakah yang harus dipilih untuk menggantikan Yudas Iskariot, undian jatuh kepada Matias (Kis. 1:24-26).  Ketika gereja mula-mula berdoa memohon keberanian di tengah penganiayaan, Tuhan menggoyangkan tempat pertemuan mereka dan memenuhi mereka dengan Roh Kudus (Kis. 4:29-31).
Jika kita melihat doa hanya sebagai dialog, kita mungkin akan kecewa.  Tetapi jika kita menyadari bahwa Tuhan merespon tidak selalu dengan kata-kata, kita akan melihat kasih dan kesetiaan-Nya dengan cara yang baru.  Bukankah kita seringkali salah paham dengan tindakan-Nya?  Allah berkata Ia mengasihi kita, tetapi kita tidak selalu merasakan kasih-Nya.  Banyak orang berdoa, “Berikanlah kepada kami makanan kami yang secukupnya,” tetapi tetap kelaparan.  Yesus berkata, “Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:15), tetapi di manakah keadilan?  Dan ketika Yesus berteriak, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34), sorga tetap diam.  Langit menjadi gelap, dan bumi bergoyang.  Allah terlihat marah.
Respon Allah yang paling utama terhadap kejahatan, ketidakadilan, dosa dan kematian – yang menjadi lambang komunikasi nonverbal – adalah Kristus yang bangkit.  “Allah yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya,” demikian kata Paulus (1 Kor. 6:14).  Kita mungkin tergoda untuk mempercayai bahwa kejahatan, penderitaan dan kematian adalah tanda bahwa Allah diam saja.  Tetapi ini adalah seperti kebisingan sementara yang suatu saat akan dihentikan selamanya.  Pada akhirnya Allah akan berbicara ketika Ia membangkitkan kita dari antara orang mati, ketika kita menjadi bagian dari doa yang terjawab.
Sampai saat itu tiba, marilah kita terus berdoa, “Datanglah, Tuhan,” (1 Kor. 16:22; Why. 22:20).  Allah mengerti keadaan kita dan tidak pernah lelah bercakap-cakap dengan kita (Luk. 18:1-5), karena Ia yang berinisiatif memulai percakapan dengan kita (Yoh. 1:1-14).
Judul asli: No, Prayer Isn’t Really a Conversation
Ditulis oleh: Rodney Reeves untuk Christianity Today
Diterjemahkan oleh: GI Selena Christa

 

 

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?