Manusia di Hadapan Allah

- Ayub 34-35 -

Elihu berusaha mengemukakan pendapat tanpa menggurui. Dia menghargai para sahabatnya dan menganggap mereka sebagai orang yang berhikmat dan berakal budi, sehingga ia meminta mereka menilai sendiri apa yang akan dia katakan (34:2-4). Pada pasal 34, Elihu menanggapi pernyataan Ayub yang menganggap dirinya diperlakukan tidak adil oleh Allah (34:5-6). Menurut Elihu, Allah tidak berlaku fasik, curang atau membengkokkan keadilan. Dengan bijaksana, dia mengajak mereka untuk mengintrospeksi diri dan melihat bahwa sesungguhnya, manusia itu ada karena nafas Allah. Elihu juga mengajak mereka berpikir dari sudut pandang sebaliknya, yaitu kalau Allah tidak adil, siapa yang berhak mempersalahkan Dia? Allah tidak memihak kepada siapa pun. Dia memperhatikan semua orang. Bahkan, saat orang-orang perkasa yang fasik membuat orang-orang miskin menjerit dan membutuhkan keadilan, siapa yang mewujudkan keadilan jika Allah berdiam diri? Jadi, bila ada keadilan di bumi, sesungguhnya Allah Yang Maha Adil sedang bertindak mewujudkan keadilan di bumi yang tidak adil ini. Pada pasal 35, Elihu berusaha menjawab pergumulan Ayub yang menganggap tidak ada gunanya bila dia tidak berbuat dosa (35:3 TB2). Menurut Elihu, manusia dirugikan bila berbuat dosa dan manusia diuntungkan bila berbuat benar (35:8). Allah penuh dengan kemuliaan dan kemuliaannya tidak berkurang bila manusia berbuat dosa dan kemuliaannya juga tidak bertambah bila manusia berbuat benar. Jadi, perbuatan manusia berdampak kepada manusia itu sendiri. Sekalipun demikian, Allah yang penuh kasih menginginkan agar umat-Nya memuliakan Dia dan menikmati kemuliaan-Nya. Elihu juga memaparkan bahwa pada umumnya, orang menjerit dan mencari Allah saat menderita. Saat teriakan permohonan mereka seperti tidak dihiraukan Allah, mereka merasa tidak melihat Allah. Akan tetapi, mereka tidak mencari Allah atas tindakan baik Allah yang telah menciptakan dirinya dan memberikan hal- hal yang mendatangkan sukacita. Pemaparan Elihu menunjukkan bahwa sesungguhnya, bukan manusia yang berhak menilai Allah, namun Allah yang berhak menilai manusia. Manusia tidak berhak menilai atau meragukan keadilan Allah. Saat mendapat perlakuan tidak adil, manusia tidak berhak menuntut keadilan, melainkan harus menyerahkan keadilan kepada Allah, agar Allah Yang Maha Adil itu mengadili dengan seadil-adilnya. Apakah Anda bersedia menundukkan diri terhadap keadilan Allah? Seharusnya, kita tidak boleh memandang Allah seperti pelayan kita, tetapi sudah seharusnya kita melayani Allah. Apakah Anda hanya mencari Allah saat membutuhkan pertolongan-Nya? [BW]

Saturday, 26 August 2023

Cara Allah Bekerja

- Ayub 32-33 -

Elihu adalah sahabat Ayub yang mengutarakan pendapat di urutan terakhir. Dia berpandangan bahwa dirinya, Ayub, dan sahabat- sahabatnya setara di hadapan Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya (33:6). Elihu juga berpendapat bahwa mereka yang sudah lebih lanjut umurnya tidak secara otomatis memiliki hikmat dan mengerti tentang keadilan, tetapi hikmat dan pengertian itu merupakan pemberian Yang Maha Kuasa (32:8-9). Karena sadar bahwa dirinya paling muda, Elihu—yang merasa berhak berbicara sama seperti yang lain—merendahkan diri dan menunggu seluruh diskusi antara Ayub dan ketiga sahabatnya selesai, barulah dia berbicara (32:4). Sambil menunggu, dia menyimak seluruh diskusi (32:11). Dia berusaha memberikan pendapat secara objektif, tidak memihak (32:21). Dia menganggap sahabat-sahabatnya bersalah karena menuduh Ayub tanpa memberikan bukti (32:3). Dia juga menganggap Ayub bersalah karena Ayub merasa lebih benar dari Allah, menganggap dirinya bersih dan suci (32:2; 33:9) sedangkan Allah dianggap memusuhi dirinya (33:10-11). Elihu berusaha menjawab kegelisahan Ayub yang merasa bahwa Allah tidak menjawab segala perkataannya (33:13). Menurut Elihu, Allah bisa berfirman dengan berbagai cara. Masalahnya, sering kali manusia tidak memperhatikan bahwa Allah dapat memberi jawaban melalui mimpi, melalui penderitaan, atau melalui malaikat yang memberikan kelepasan (33:14-24). Alkitab menjelaskan bahwa Allah dapat memakai binatang, tumbuhan, peristiwa alam, malaikat, dan manusia untuk berkomunikasi dengan umat-Nya. Saat kita menantikan jawaban doa, mungkin kita gagal menyadari jawaban Allah karena kita membatasi jawaban Allah melalui anggapan bahwa jawaban itu harus sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mungkin pula kita gagal menyadari jawaban Allah saat Allah memakai cara-cara di luar dugaan—sesuai dengan apa yang Allah anggap baik—untuk menjawab permohonan kita. Jadi, bila kita merasa bahwa Allah tidak menjawab doa kita, mungkin saja masalah sebenarnya adalah kekurangpekaan kita terhadap jawaban Allah. Sadarilah bahwa Allah bekerja dengan caranya sendiri! Manusia yang terbatas tidak akan mampu menyelami seluruh pekerjaan Allah. Namun, bila kita berusaha untuk makin mengenal Allah melalui firman- Nya, kita akan bisa melihat bagaimana Allah bekerja dalam hidup kita. Yang dibutuhkan umat-Nya hanyalah iman yang memercayai bahwa Allah pasti menjawab permohonan umat-Nya serta penyerahan diri untuk sabar menanti Allah bertindak dengan cara-Nya sendiri. Apakah Anda telah berusaha memahami dan menerima cara kerja Allah dalam hidup Anda? [BW]

Friday, 25 August 2023

Mereproduksi Pemimpin

- 2 Timotius 2:2 -

Salah satu tanggung jawab pemimpin yang sangat penting adalah melatih pemimpin. Jika pemimpin enggan menyediakan waktu untuk mempersiapkan pengganti, di kemudian hari, kemungkinan besar akan terjadi krisis regenerasi (tidak ada orang yang siap untuk mengambil alih kepemimpinan). Seorang pemimpin harus memberi kesempatan ke- pada para pengikutnya untuk memakai dan mengembangkan poten- si mereka. Pemimpin yang baik harus “memperbanyak” diri mereka de- ngan menyiapkan pemimpin yang lebih muda. Mereka yang lebih muda harus diberi kesempatan untuk memulai, merasakan beratnya beban, dan memegang wewenang untuk mengambil keputusan final. Mereka harus dipuji atas prestasinya, dan—yang terutama—harus diberi kepercayaan! Intinya adalah membantu pemimpin masa depan mengembangkan poten- si mereka. Tuhan Yesus mengabdikan sebagian besar waktu pelayanan- Nya selama 3 tahun untuk mempersiapkan murid-murid-Nya. Satu hal yang perlu dicatat: melakukan kesalahan adalah harga yang tak terelakkan dalam proses melatih para pemimpin masa depan! Timotius berusia kira-kira 20 tahun saat Rasul Paulus menjadi mentornya. Rasul Paulus berusaha memperbaiki karakter Timotius yang lunak—sifat takut-takut—menjadi baja. Dia menuntun Timotius ke da- lam berbagai pengalaman dan kesulitan yang mempertangguh karakternya. Rasul Paulus tidak ragu-ragu memberi tugas-tugas yang melampaui kekuatan Timotius saat itu. Lagi pula, bagaimana seorang muda dapat mengembangkan kecakapan dan kepercayaan dirinya bila bukan dengan dipaksa mencoba hal yang mustahil? Dengan mengajak Timotius mengikuti perjalanannya, Timotius memiliki kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat yang menyalakan ambisi yang sehat dalam dirinya. Dari mentornya, Timotius belajar menghadapi dan mengatasi krisis-krisis dalam hidupnya. Rasul Paulus juga memberi tanggung jawab kepada Timotius untuk membangun jemaat di Tesalonika. Standar terperinci, pengharapan yang tinggi, dan tuntutan yang berat dari Rasul Paulus memunculkan yang terbaik dalam diri Timotius, menyelamatkan dia dari kehidupan yang biasa-biasa saja. Ada satu hal yang tidak boleh kita langgar, yaitu pelatihan pe- mimpin tidak dapat dilakukan dalam skala masal. Mengapa? Karena reproduksi pemimpin membutuhkan kesabaran, pemberian petunjuk yang cermat, doa yang tekun, dan bimbingan pribadi dalam waktu yang sangat lama. Murid-murid tidak diproduksi dalam skala besar. Mereka dihasil- kan satu per satu. Seorang mentor harus bersedia berjerih lelah untuk mendisiplin, mengajar, memberi pencerahan, mengasuh, dan melatih orang yang lebih muda. Siapakah “Timotius” Anda? [MN]

Thursday, 24 August 2023

Teguran: Kebutuhan Pemimpin

- 2 Samuel 12:1-7 -

Tak ada gading yang tak retak! Peribahasa ini juga berlaku bagi pe- mimpin yang paling besar, paling disegani, bahkan paling rohani. Dalam sejarah Israel, Daud adalah raja yang paling dihormati. Namun, Kitab Suci tidak menyembunyikan kesalahan fatal yang dilakukannya, yaitu dosa perzinaan dan pembunuhan tingkat satu. Sebagai raja yang memegang kekuasaan tertinggi, terlalu sedikit—jika ada—orang yang berani ‘menyentil’ Raja Daud karena risikonya adalah kehilangan hak istimewa untuk berada dalam lingkaran terdekat raja, bahkan kehilangan nyawa, padahal seorang pemimpin sangat memerlukan orang di sampingnya yang berani menegur saat dia melakukan kesalahan. Makin terhormat seorang pemimpin, makin serius kebutuhan ini! Yoab—panglima dalam pemerintahan Raja Daud (8:16)— bukan tidak mengetahui rencana busuk membunuh Uria yang diskenariokan oleh Sang Raja (11:14-15). Bahkan, setelah Uria mati karena sengaja ditempatkan di posisi paling berbahaya dalam pertempuran, Yoab me- ngonfirmasi kematiannya kepada Raja Daud (11:24). Sebagai salah seo- rang terdekat raja, Yoab punya akses dan kesempatan untuk menegur sang raja, tetapi ia tidak melakukannya. Nabi Natan-lah yang mengambil peran itu saat TUHAN mengutus dia menegur Raja Daud. Dengan hikmat yang Tuhan karuniakan kepadanya, Nabi Natan membeberkan kesalahan Raja Daud melalui sebuah perumpamaan. Puncaknya, Nabi Natan menunjuk muka Raja Daud dan berkata, “Engkaulah orang itu!” (12:7). Betapa terkejutnya sang raja! Ia tidak menyangka bahwa ada orang yang berani menudingnya dengan gamblang. Sebelumnya, ia dengan berapi-api berniat menghukum mati orang yang dikisahkan dalam perumpamaan itu (12:5). Bayangkan efek kejut yang dihasilkan oleh tindakan berani Nabi Natan itu! Kondisi hati Raja Daud berbalik 180 derajat. Syukurlah bahwa Natan berani mengambil risiko dengan memberi diri dipakai Tuhan untuk menegur Raja Daud. Bahaya-bahaya yang dihadapi pemimpin—kesombongan, haus popularitas, merasa selalu benar, dan merasa tak tergantikan oleh orang lain—adalah titik-titik buta (blind spots) yang sering tak disa- dari oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, para pemimpin memer- lukan ‘Natan-Natan’ yang berani menunjuk tepat di batang hidung para pemimpin dan berkata, “Kamu salah! Kamulah orang yang melakukan kesalahan itu!” Hai para pemimpin, bersyukurlah jika ada seorang ‘Natan’ yang tanpa basa-basi mengatakan: “Kamu sombong!” atau “Kamu tidak mahatahu!”, bahkan “Kamu munafik!” Orang seperti itu akan menolong Anda terjaga. Bila Anda seorang pemimpin, apakah Anda memiliki para ’Natan’ di sekitar diri Anda? [MN]

Wednesday, 23 August 2023

Bahaya-bahaya yang Dihadapi Pemimpin (2)

- 1 Korintus 9:27; Matius 26:41 -

Bahaya ketiga yang dihadapi pemimpin adalah menganggap diri-nya tidak mungkin berbuat salah. Kerohanian pemimpin tidak menjamin bahwa penilaiannya tidak mungkin salah. Walaupun orang yang penuh dengan Roh semestinya lebih sedikit melakukan kesalahan dibandingkan orang yang duniawi, terlalu percaya diri dapat membo- hongi diri sendiri dan orang lain, meskipun orang itu sangat rohani. Bahkan, para rasul pun melakukan kesalahan yang membutuhkan koreksi ilahi. Para pemimpin yang memusatkan perhatian mereka untuk menge- nal Tuhan, berdoa, dan menggumuli masalah-masalah seputar pembaruan dan kegerakan rohani pun dapat menjadi sulit mengakui kemungkinan bahwa penilaian mereka salah. Seorang pemimpin tentu saja harus tegas dalam mengambil keputusan untuk membela apa yang ia percayai. Na- mun, sebenarnya kesediaan mengakui kesalahan dan menghormati peni- laian rekan justru akan meningkatkan pengaruh orang itu, bukan mengu- ranginya. Para pengikut akan kehilangan keyakinan pada pemimpin yang tampak sangat yakin bahwa dirinya tidak mungkin salah. Waspadalah karena perasaan tidak mungkin berbuat salah dalam satu area kehidupan dapat berdampingan dengan karakter yang baik di area kehidupan yang lain. Berjaga-jaga dan berdoalah! Bahaya keempat yang dihadapi pemimpin adalah keyakinan bahwa dirinya tak tergantikan. Pemimpin Kristen dapat menjadi rapuh dan jatuh dalam pencobaan ini. Mereka memimpin lebih lama dari yang seharusnya. Bayangkan bahwa jika Musa bersikeras untuk terus memim- pin bangsa Israel, Yosua tidak akan memiliki kesempatan untuk belajar memimpin. Dalam hikmat-Nya, TUHAN menetapkan batas waktu memimpin kepada setiap pemimpin. Selain baik bagi kesehatan jiwa sang pemimpin agar ia tidak merasa tak tergantikan, pemimpin yang lebih muda—yang memiliki energi dan kreativitas yang dibutuhkan sesuai dengan zamannya—diharapkan bisa memimpin secara lebih relevan/ kontekstual. Tak dapat dipungkiri adanya ironi bahwa para pengikut yang tulus dan bermaksud baik sering berpikir bahwa pemimpin lama mereka tidak tergantikan. Pemikiran semacam itu menyuburkan ego pemimpin dan malah membuat kerja/pelayanannya kurang maksimal. Setiap pemimpin perlu belajar untuk sungguh-sungguh mengenal Tuhan agar dapat mengenal diri sendiri dan tidak jatuh dalam bahaya yang mengintai. Jangan sampai seorang pemimpin yang mengawali dengan sangat baik ternyata tidak mengakhiri dengan baik. Tuhan Yesus memerintahkan setiap pemimpin, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan (bahaya kepemimpinan): roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Matius 26:41). [MN]

Tuesday, 22 August 2023

 Prev 1 2 3 4 Next  Last

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?