Simpati Dalam Kelemahan

Saturday, 02 May 2020


Ibrani 4:15-16 Sebagai mahluk sosial, perasaan dan tindakan simpati menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita. Sejujurnya, kita banyak menerima perasaan dan tindakan simpati dari orang lain. Demikian juga, ketika kita melihat ada orang yang terkena musibah, meskipun kita tidak mengenalnya, muncul perasaan simpati terhadap kesulitan mereka. Bahkan hati kita terdorong untuk menolongnya. Apakah sesungguhnya simpati itu? Simpati adalah perasaan iba atau kasihan yang kita rasakan terhadap orang lain. Ketika ada orang mengalami kesedihan ataupun kebahagiaan, kita turut merasakan seperti apa yang mereka rasakan. Penulis surat Ibrani ini menyebut Tuhan Yesus sebagai Imam Besar Agung. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, jabatan Imam dikhususkan hanya pada suku Lewi. Salah satu imam yang terkenal adalah Imam Harun. Pada ayat 14 dikatakan: “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.” Dikatakan pada bagian ini: ‘Tuhan Yesus sebagai Imam Besar Agung melintasi semua langit.” Sebuah kata penting dan menjadi penekanan pada ayat ini adalah kata ‘melintasi.’ Istilah ini mengacu pada apa yang dilakukan para Imam Besar saat menjalankan tugasnya di Bait Allah. Seperti kita ketahui, Bait Allah terdiri dari tiga bagian; pelataran, ruang kudus dan maha kudus. Di antara ruang kudus dan ruang maha kudus ada sebuah tirai pembatas. Seorang imam besar saat melakukan tugasnya, ia tidak hanya sampai pada ruang kudus, namun ia juga harus melintasi ruang kudus, lalu masuk ke ruang maha kudus untuk mempersembahkan kurban kepada Allah. Kalau hal ini dikenakan pada diri Tuhan Yesus sebagai Imam Besar, maka penjelasan pada ayat 14 tentang tugas yang dilakukan oleh Tuhan Yesus adalah; Ia bukan saja melintasi dari ruang kudus ke ruang maha kudus, tetapi Ia adalah Allah yang melintasi semua langit. Lebih tepatnya, Tuhan Yesus sebagai Imam Besar Agung telah naik ke surga. Mari kita melihat, apakah tugas Tuhan Yesus sebagai Imam Besar Agung bagi setiap kita: 1. Ia turut merasakan kelemahan kita (ayat 15) Ayat 15 menyebutkan: ‘Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.’ Ketika kita membaca kalimat ini seperti ada yang janggal. Karena penulis surat Ibrani ini mengunakan kalimat negatif. Bukankah sebaiknya ditulis dalam kalimat positif, sehingga tidak memunculkan pertanyaan. Alangkah baiknya kalau penulis surat Ibrani ini menulis: ‘Yesus sebagai Imam Besar turut merasakan kelemahan kita.’ Tetapi mengapa ditulis: “Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita.” Ternyata ketika kita meneliti lebih jauh dan merenungkannya, maka kita akan menemukan sebuah kebenaran yang sangat penting. Rupanya, Penulis surat Ibrani ini sedang memperbandingkan antara Tuhan Yesus dengan Imam Besar pada umumnya. Tuhan Yesus sebagai Imam Besar, tidak sama dengan Imam Besar yang biasa membawa kurban persembahan kepada Allah. Dimana letak perbedaannya? Tradisi Perjanjian Lama menyebutkan, setiap tahun Imam Besar akan mengadakan upacara pendamaian. Sejujurnya, saat Imam Besar mempersembahkan kurban kepada Allah, ia hanya sekadar menjalankan tugasnya. Mereka tidak peduli dengan kesulitan dan pergumulan umat Tuhan. Mereka tidak tahu perjuangan umat Tuhan dalam melawan dosa. Imam Besar hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya. Sedangkan Tuhan Yesus sebagai Imam Besar, bersimpati terhadap kelemahan-kelemahan yang umat Tuhan alami. Simpati berasal dari dua kata Yunani, yaitu: syn dan pathos. Syn artinya bersama-sama dan Pathos artinya perasaan. Sehingga secara arti, simpati adalah: ‘merasakan bersama orang lain.’ Ketika kita menyebut Tuhan Yesus sebagai Imam Besar Agung bersimpati, hal ini berarti; Ia turut merasakan kelemahan-kelemahan yang kita alami. Dalam bahasa aslinya istilah ‘kelemahan’ merujuk kepada segala macam jenis kelemahan; baik fisik (Lukas 5:15), mental (1 Korintus 2:3), maupun rohani (Roma 6:19). Dengan demikian menjadi jelas bagi setiap kita, Tuhan Yesus turut merasakan semua kelemahan kita. Mengapa Ia bisa merasakan semua kelemahan kita? Ayat 15b menjelaskan bahwa Ia sama seperti kita, telah mengalami pencobaan. Jangan berpikir bahwa satu-satunya pencobaan yang terjadi pada Tuhan Yesus adalah saat Iblis datang kepada-Nya setelah Dia tidak makan selama 40 hari dan 40 malam. Tentu Tuhan Yesus dicobai di banyak tempat, di waktu yang berbeda, juga dengan cara yang berbeda. Namun, satu-satunya yang membedakan antara Tuhan Yesus dengan kita adalah dalam hal dosa. Ia memang telah dicobai, namun Ia tidak pernah berbuat dosa. Hal ini menjadi sebuah keyakinan bagi setiap kita bahwa Dialah satu-satunya yang mampu menolong setiap manusia dalam menghadapi pencobaan dan dosa. Apakah tugas Tuhan Yesus sebagai Imam Besar Agung bagi setiap kita: 2. Ia memberi anugerah-Nya untuk menolong kita (ayat 16) Tindakan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dengan turut merasakan atas kelemahan manusia membuat-Nya menaruh belaskasihan dan memberikan anugerah-Nya untuk menolong kita. Karena itu Penulis surat Ibrani pada ayat 16 mengatakan: ‘Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.’ Pada bagian lain, pengertian ‘kelemahan’ adalah ketidakmampuan kita melawan pencobaan dan dosa. Tentu hal ini perlu menjadi kewaspadaan kita. Karena godaan dan pencobaan itu seperti tamu yang tidak pernah diundang, namun ia selalu setia dan tidak penah lelah mendatangi kita. Oleh sebab itu kita perlu mewaspadai diri, karena Iblis dapat mengunakan kelemahan yang kita miliki untuk menjatuhkan kita. Kasus yang terjadi pada Raja Daud kiranya dapat menjadi sebuah pelajaran penting agar kita berwaspada dan mempunyai pengendalian diri, sehingga kita tidak jatuh ke dalam pencobaan dan dosa. Apa yang terjadi dengan Daud barangkali adalah satu tindakan yang dianggap sepele dan tidak disengaja. Ketika sore hari ia berjalan-jalan di atas istananya, kemudian barangkali tanpa sengaja Daud melihat seorang perempuan sedang mandi. Kita mungkin mengangapnya sebagai dosa kecil. Tetapi dosa kecil yang menjadi kelemahan ini, apabila diperlihara, pada akhirnya akan menjatuhkan kita. Kelemahan ini seperti lubang kecil yang kita anggap sepele, namun ketika kita membiarkannya, lubang kecil ini akan menjadi jurang yang menjerumuskan kita. Oleh sebab itu kita perlu memeriksa diri akan kelemahan-kelemahan yang kita miliki, karena kalau ini dibiarkan dan tidak mau diselesaikan di hadapan Tuhan, cepat atau lambat kelemahan ini akan menjerumuskan kita. Surat Yakobus 1:14-15 berkata: ‘Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.’ Dicobai bukanlah dosa, namun apabila kita menyerah pada pencobaan, itulah yang menyebabkan dosa. Mungkin kita kurang punya pengendalian diri dalam mengatasi kemarahan kita, atau secara tidak sadar kita telah menjadi orang yang iri hati, bahkan kita lebih suka mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri. Apapun kelemahan yang kita miliki, mari kita sadari akan bahaya yang akan mengancam kita. Kembali kepada kasus yang terjadi pada Daud. Ketika ia memelihara kelemahan tersebut dan kemudan menyebabkannya jatuh ke dalam dosa, ia bersedia menerima teguran Tuhan. Ia menyadari akan keberdosaanya, lalu dengan menyesal dan berkabung ia datang kepada Tuhan dan memohon agar Tuhan mengampuninya. Tuhan Yesus bersimpati atas kelemahan-kelemahan yang kita miliki saat menghadapi pencobaaan. Ketika hal ini terjadi, hanya ada dua hal yang bisa kita lakukan; menyerah untuk dikalahkan oleh pencobaan, atau meminta anugerah dan pertolongan Tuhan, agar kita dimampukan untuk mengalahkan pencobaan tersebut dan memperoleh kemenangan. Tentu jatuh ke dalam dosa bukanlah sesuatu yang menyenangkan, sebab akan membuat hati kita susah. Ketika kita akhirnya menyerah dan kalah terhadap pencobaan, maka Roh Kudus yang ada di dalam diri kita memberi peringatan, agar kita memiliki keberanian untuk datang kepada Tuhan, mengakui keberdosaan kita dan memohon pengampunan-Nya. Ingatlah Tuhan Yesus bukan saja Imam Besar yang membawa korban penghapus dosa, tetapi Ia adalah korban itu sendiri. Dengan pengorbanan-Nya di kayu salib, seluruh hukuman dosa kita ditanggung-Nya. Di dalam Dia, kita memperoleh penebusan dan pengampunan dosa. Ketika kita jatuh ke dalam dosa, kemudian datang kepada Tuhan, dan memohon pengampunan-Nya, maka Tuhan dengan anugerah-Nya akan menyucikan dan memperbaharui hidup kita. Kiranya Tuhan memberkati. Disusun oleh: Pdt. Herman Suratman

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?