Kecemburuan Ilahi: Mengapa Tuhan Sangat Posesif?

Monday, 15 June 2020


Richard Dawkins, seorang profesor dari Universitas Oxford sekaligus wajah ternama dari gerakan Neo-Ateisme (New Atheism), pernah menyebut sosok Tuhan yang diceritakan di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebagai “karakter yang paling tidak menyenangkan dari seluruh cerita fiksi yang ada.” Salah satu alasannya, menurut Profesor Dawkins, adalah karena Tuhan “selalu dipenuhi dengan amarah yang meluap apabila umat-Nya ‘bermain mata’ dengan allah lain yang menjadi saingan-Nya”. Pernyataan yang serupa juga pernah diucapkan oleh Oprah Winfrey, seorang pembawa acara TV yang kian terkenal, yang mengaku kehilangan iman Kristen-nya saat mendengar sebuah kebenaran bahwa Tuhan adalah Tuhan yang cemburu. Lantas, bagaimanakah kita sebagai orang Kristen menyikapi kebenaran ini? Layakkah Tuhan bersikap cemburu terhadap umat-Nya? Paul Copan, dalam bukunya yang berjudul “Is God a Moral Monster? Making Sense of the Old Testament God” mengatakan bahwa sebagai orang yang rasional, kita perlu membedakan mana kecemburuan yang ‘baik’, dan mana kecemburuan yang ‘buruk’. Sebuah kecemburuan dapat dikatakan ‘buruk’, apabila rasa tersebut timbul karena sikap keberpusatan kita pada diri sendiri. Namun, Copan juga menjelaskan bahwa ada rasa cemburu yang tidak dinodai oleh natur keberdosaan kita sebagai manusia, yaitu cemburu yang timbul karena perhatian kita akan kesejahteraan orang lain. Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengatakan bahwa: “Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus.” (2 Korintus 11:2). Rasa cemburu Rasul Paulus tidaklah berakar dari keberpusatan pada dirinya sendiri, melainkan dari kepeduliannya terhadap sikap hidup jemaat dan juga kebahagiaan mereka. Terlebih lagi Tuhan terhadap anak-anak-Nya. Melalui banyak bagian, Alkitab berulang kali menyatakan karakter Tuhan yang, dalam istilah Copan, seperti ‘kekasih yang sedemikian peduli’ terhadap hidup umat-Nya. Kecemburuan Tuhan adalah kecemburuan yang timbul dari perhatian-Nya terhadap kebahagiaan kita. Mengapa demikian? Karena, ketika kita berpaling dari pada-Nya, kita meninggalkan sumber dari segala kebahagiaan (the ultimate source of satisfaction) dan berpuas diri dengan berhala-berhala yang penuh dengan kehampaan. Tuhan, di sisi yang lain, menginginkan kita untuk mengalami kepenuhan yang hanya bisa ditemukan didalam Dia. Namun, alih-alih menikmati air hidup yang menyejukkan, seringkali kita memilih air-air lainnya yang pada akhirnya akan mengecewakan kita. Demikianlah Tuhan meratapi orang-orang Israel: “Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.” (Yeremia 2:13). Selain itu, kecemburuan yang Ia alami juga menunjukkan seberapa dalam kasih-Nya terhadap kita. Komitmen seorang istri dalam sebuah hubungan pernikahan patut dipertanyakan apabila ia cenderung bersikap tidak peduli saat suaminya memiliki hubungan dengan orang lain. Tentu, sebuah respons alami yang akan timbul dalam hubungan pernikahan yang lazim adalah rasa cemburu. Rasa cemburu menunjukkan seberapa besar cinta seseorang terhadap pasangannya. Juga, apabila melihatnya lebih dalam, menunjukkan bagaimana Dia memberi diri-Nya rentan terhadap penolakan kita. Ia memilih untuk membiarkan adanya kemungkinan diri-Nya ditolak dan diabaikan melalui penyembahan berhala kita. Tuhan yang sedemikian agung, juga merupakan Tuhan yang sering tersakiti dan dalam anugrah-Nya, terus menantikan pertobatan kita. Seberapa sering dalam keseharian kita, kita membuat Tuhan cemburu melalui apa yang kita katakan, pikirkan, atau lakukan? Apa yang selama ini menjadi berhala bagi kehidupan setiap kita? Meskipun zaman berubah, namun berhala tetap ada dalam hati manusia. Dalam konteks Israel kuno, praktik berhala seringkali melibatkan adanya praktek-praktek ritual tertentu terhadap ilah-ilah lain untuk memanipulasi realita kehidupan supaya membuatnya menjadi lebih sesuai dengan kemauan kita, seperti untuk mendapatkan hasil panen yang lebih memuaskan, lebih banyak anak, lebih banyak harta, dan sebagainya. Lantas, bukankah ini juga sering kita lakukan dalam konteks kehidupan kita di zaman modern ini? Alih-alih mencari Tuhan dan mencukupkan diri dengan-Nya, bukankah seringkali kita lebih mencari harta, kekayaan, dan kenyamanan? Ditulis oleh: Sean Hambali, diadaptasi dari buku “Is God a Moral Monster? Making Sense of the Old Testament God”

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?