Menghidupi Iman dalam Pekerjaan

Monday, 14 September 2020


Bagaimana seorang Kristen harus memandang dan menjalani pekerjaan/vokasi mereka? Mungkin setiap kita memiliki jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan tersebut. Namun, satu hal tidak dapat dipungkiri oleh kita semua adalah bahwa terkadang pekerjaan dapat menjadi sebuah hal yang sangat melelahkan. Pada umumnya, kita perlu bangun pagi, berkendara menuju tempat bekerja, bekerja hingga sore atau bahkan malam hari, lalu setelahnya pulang ke rumah untuk beristirahat. Pola ini terus kita ulangi untuk waktu yang cukup lama - sebuah studi bahkan memperkirakan bahwa setiap orang secara rata-rata mendedikasikan 90.000 jam di hidupnya untuk bekerja (sekitar sepertiga dari seluruh hidupnya!) - sehingga terkadang bekerja terasa seperti rutinitas dan kegiatan yang tak berarti. Lantas, bagaimana tanggapan kita saat pekerjaan terasa sangat melelahkan dan tidak memiliki arti? Sebuah pandangan yang beredar secara luas, terutama di kalangan yang lebih tradisional adalah bahwa pekerjaan memang merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan, dan kita yang mengerjakannya tidak punya pilihan selain menjalankannya. Dengan kata lain, tumbuh lah dewasa, dan terimalah kenyataan bahwa hidup memang pahit. Memang seperti itulah kehidupan orang dewasa, menurut orang banyak. Lagipula, tampaknya bekerja merupakan hukuman yang Tuhan berikan pada manusia setelah kejatuhan Adam, benar kan? Pandangan lainnya, yang cukup banyak dimiliki oleh kaum muda, cukup berkebalikkan dengan pandangan yang pertama tadi. Banyak kaum muda yang berpikiran bahwa kenikmatan dan kepuasan saya dalam pekerjaan adalah hal yang paling penting dalam memilih pekerjaan, dan dalam memutuskan apakah perlu bertahan dalam pekerjaan tersebut atau tidak. Oleh karenanya, muncul istilah job hopping, atau lebih dikenal dengan ‘kutu loncat’, yang menggambarkan seseorang yang terus menerus berganti tempat kerja atau posisi/karir. Apabila pekerjaan saya sudah tidak lagi memenuhi ekspektasi dan impian saya, buat apa lagi saya tetap di pekerjaan ini? Apakah kedua pandangan ini sepenuhnya tepat? Benarkah pekerjaan merupakan sesuatu yang memang tidak perlu dinikmati dan hanya perlu kita jalani saja? Nampaknya bagi Tuhan, tidak demikian. Setelah Tuhan selesai bekerja menciptakan dunia, Ia menikmati hasil karya-Nya (Kej. 1:31). Kalau kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, apa alasan kita untuk tidak ikut menikmati pekerjaan kita? Dalam bukunya yang berjudul Every Good Endeavor, Timothy Keller menulis bahwa seringkali kita memandang pekerjaan sebagai sebuah necessary evil dan/atau sebagai sebuah bentuk hukuman yang dijatuhkan Tuhan bagi manusia sejak kejatuhan Adam dalam keberdosaan. Pandangan ini sedikit banyak melewatkan sebuah poin penting bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk bekerja. Bekerja pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan dasar bagi manusia, seperti halnya makan, minum, berteman dengan orang, dan sebagainya. Cobalah tidak melakukan apa-apa atau tidak bekerja selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, pasti Anda akan merasa kehilangan arah dan tujuan! Tuhan juga menciptakan manusia untuk bekerja karena pekerjaan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk menemukan jati diri mereka yang sesungguhnya, untuk menemukan kemampuan dan talenta spesial kita, serta mengekspresikan cinta kita terhadap Tuhan. Seorang penulis Dorothy Sayers pernah berkata, “Apa pengertian Kristiani tentang bekerja? … Bekerja merupakan, atau seharusnya merupakan, ekspresi penuh dari kapabilitas si pekerja … sebuah wadah baginya untuk mempersembahkan dirinya bagi Tuhan”. Namun, meskipun Tuhan memanggil kita untuk bekerja dan menikmati pekerjaan kita, Tuhan juga memiliki panggilan yang Ia ingin kita nyatakan melalui pekerjaan tersebut. Panggilan ini erat kaitannya dengan konsep shalom. Apa artinya shalom? Dalam pandangan Charles D. Drew, shalom memiliki arti yang lebih luas daripada sekadar damai. Menurutnya, shalom menjelaskan sebuah keadaan dimana harmoni, atau keselarasan, dapat ditemukan dimana-mana - antara bangsa-bangsa, antara manusia dan alam, dan yang terpenting, antara ciptaan dan Penciptanya. Kita merasakan shalom saat sepasang suami-istri yang kita tahu sedang bertengkar hebat, berbaikan dan menemukan pengampunan dalam hubungan mereka. Kita merasakan shalom saat kita melihat upaya berbagai suku bangsa di Indonesia belajar untuk hidup rukun bersama, merayakan dan menghargai keberagaman mereka. Kita merasakan shalom, saat rekan sekerja kita atau keluarga kita mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan berkeinginan untuk menjalin relasi dengan-Nya. Namun, seringkali saat kita melihat dunia di sekitar kita, kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali sangat jauh dari keadaan ‘shalom’. Kita merindukan shalom saat kita mendengar kabar ditangkapnya Effendi Buhing saat berupaya melindungi hutan adat-nya dari eksploitasi secara masif oleh perusahaan sawit. Kita merindukan shalom saat melihat petinggi-petinggi rezim Orde Baru yang hingga saat ini belum diadili atas pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap aktivis-aktivis di era tersebut. Kita merindukan shalom saat saudara-saudara kita di Papua mengalami diskriminasi secara rasial. Kita merindukan shalom saat kita melihat bahwa orang miskin di sekitar kita mendapatkan perlakuan yang semena-mena. Melalui pekerjaan kita, Tuhan merindukan kita untuk menjadi duta-duta shalom, menghadirkan shalom, serta memperkenalkan Tuhan dimanapun kita ditempatkan. Oleh karenanya, kita perlu senantiasa memeriksa diri serta motivasi kita dalam bekerja. Apa yang mendorong Anda dan saya untuk memilih dan tetap menjalankan pekerjaan yang dijalankan saat ini? Seringkali kita menjadikan pekerjaan sebagai personal fulfillment kita. Kita menjadikan pekerjaan sebagai sumber identitas kita, sumber keberhargaan kita, serta sumber kepuasan kita. Apabila kita sudah tidak lagi merasakan kenikmatan, kepuasan serta tidak lagi merealisasikan ambisi/tujuan pribadi kita dalam pekerjaan kita, maka kita mempertimbangkan untuk berhenti mengerjakannya, atau berpindah ke pekerjaan lain/posisi di tempat lain. Yang menjadi masalah dalam pandangan ini adalah bahwa diri kita-lah yang menjadi pusat dalam kehidupan kita. Kita mengambil keputusan berdasarkan apa yang membuat kita senang, apa yang membuat kita puas, apa yang dapat membantu karir kita maju. Dalam keadaan seperti ini, bekerja bukan lagi dilakukan untuk merealisasikan visi dan tujuan utama Tuhan, melainkan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Kita tidak lagi memperhatikan bagaimana kita bisa menghadirkan shalom dan bagaimana kita bisa melayani orang dalam pekerjaan kita. Menjalani panggilan sebagai pengikut Kristus dalam pekerjaan kita tidak hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat religius seperti pendeta dan pelayan di gereja. Nyatanya, dimanapun dan di bidang manapun Anda bekerja - baik itu sebagai akuntan, pengusaha, doktor, manajer, pelatih olahraga, guru, dan lainnya, panggilan ini tetap ditujukan bagi Anda selama Anda mengakui diri Anda sebagai orang Kristen! Bahkan, seharusnya kita tidak lagi membeda-bedakan antara pekerjaan religius dan non-religius (sekuler), pekerjaan spiritual dan duniawi, karena semua pekerjaan memiliki keberhargaan (dignity) serta panggilan yang sama di mata Tuhan. Namun, bagaimanakah setiap kita, sebagai orang Kristen, memaknai pekerjaan kita saat ini? Lebih penting lagi, sudahkah kita menghadirkan shalom bagi dunia ini melalui pekerjaan kita, dan sudahkah menjadikan pekerjaan kita sebagai wadah untuk melayani orang lain? Ditulis oleh: Sean Hambali

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?