Baobei-nya Tuhan

Wednesday, 28 October 2020


Ada satu sebutan unik yang sering dipakai oleh orang Chinese untuk merujuk kepada anak mereka. Istilah itu adalah “baobei,” yang berarti “my precious,” yaitu “milikku atau hartaku yang berharga.” Konon, asal-muasal dari kata ini sebenarnya merujuk kepada sejenis kerang yang berharga, yang pernah menjadi alat pembayaran di masa lampau. Jika hal ini benar, maka istilah ini sesungguhnya sangat menarik. Seolah-olah terjadi perubahan di mana yang berharga itu bukan lagi merujuk kepada sebuah benda, melainkan kepada manusia. Tentu saja kita setuju bahwa manusia—apalagi anak kita—jauh lebih berharga dari harta paling mahal sekalipun. Namun fokus dari tulisan ini bukanlah untuk menyelidiki istilah “baobei” secara etimologis. Tulisan ini mengajak kita untuk melihat istilah yang unik ini di dalam kerangka relasi kita dengan Bapa di surga. Andaikata Tuhan ingin memakai istilah di dalam bahasa Chinese, maka kemungkinan besar Ia akan memanggil kita, anak-anak-Nya, dengan sebutan “baobei,” yaitu sebagai milik-Nya yang berharga. Di Alkitab, misalnya, kita menemukan bahwa Allah menyebut umat-Nya, “Engkau berharga di mata-Ku dan mulia” (Yes. 43:4). Bahkan Tuhan Yesus sendiri menyatakan bahwa di hadapan Allah, “kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit,” untuk menegaskan pemeliharaan Tuhan yang pasti bagi anak-anak-Nya (Mat. 10:31; Luk. 12:7). Kebenaran bahwa kita adalah baobei-nya Tuhan begitu jelas tersurat maupun tersirat di seluruh Alkitab. Tetapi yang tidak kalah luar biasa, Alkitab bahkan mencatat keberhargaan kita di mata Tuhan bahkan ketika dunia menganggap kita tidak lagi berharga. Mazmur 116:15 adalah salah satu contohnya. “Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya,” demikian bunyi ayat tersebut. Di mata dunia, keberhargaan diidentikkan dengan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu atau memberikan keuntungan. Konon katanya ayam yang mati masih memiliki harga, karena masih bisa dijual dan masih bisa dimakan. Tetapi manusia yang mati sudah tidak lagi ada harganya. Dengan kata lain, dunia memandang kematian sebagai hilangnya keberhargaan seseorang. Tetapi di mata Tuhan bahkan ketika kita mati, ketika kita tidak lagi mampu menghasilkan apapun, ketika kita tidak lagi bisa melakukan apapun, tidak sedikitpun keberhargaan kita berkurang. Sekali kita berharga di mata Tuhan, selamanya kita akan selalu berharga di mata Tuhan. Keberhargaan kita di mata Tuhan juga diafirmasi oleh Paulus ketika ia menuliskan, “baik maut maupun hidup . . . tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm. 8:38-39). Maut memang bisa menceraikan kita dari harta benda yang telah kita kumpulkan. Maut memang mampu memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi dan yang mengasihi kita. Tetapi maut tidak pernah bisa menghapus fakta bahwa kita adalah ciptaan yang berharga karena kita dijadikan seturut dengan gambar dan rupa Allah. Maut tidak pernah sanggup untuk memutuskan relasi kovenantal yang Tuhan telah ikat dengan kita melalui karya Kristus di kayu salib. Maut tidak pernah mampu untuk membatalkan status kita sebagai anak-anak Tuhan yang telah dimeteraikan oleh Roh Kudus. Sekali kita berharga di mata Tuhan, selamanya kita akan selalu berharga di mata Tuhan. Keyakinan bahwa kita berharga di mata Tuhan, bahwa kita adalah baobei-nya Tuhan, adalah keyakinan orang Kristen sejak dulu hingga sekarang. Keyakinan inilah yang memberi kekuatan bagi anak-anak Tuhan untuk menghadapi pergumulan tersulit sekalipun. Keyakinan ini dengan akurat diekspresikan di dalam Katekismus Heidelberg, sebuah dokumen penting yang ditulis pada tahun 1563. Di situ dituliskan: “What is your only comfort in life and death? That I’m not my own, but belong—with body and soul, both in life and in death—to my faithful Savior, Jesus Christ.” “Apa satu-satunya yang melegakan engkau di dalam hidup maupun maut? Bahwa aku bukanlah milikku sendiri, melainkan tubuh dan jiwaku, baik hidup maupun mati adalah milik Yesus Kristus, Juruselamatku yang setia.” Sekali kita berharga di mata Tuhan, selamanya kita akan selalu berharga di mata Tuhan. Kebenaran bahwa kita adalah baobei-nya Tuhan mengingatkan kita bahwa pengharapan kita bukanlah kepada para ahli ekonomi yang mampu menata kembali ekonomi dunia yang porak-poranda karena pandemi Covid-19, bukan juga kepada para ahli virologi yang mampu menemukan vaksin untuk meredakan pandemi Covid-19. Pengharapan kita ada di dalam Tuhan yang memilih untuk terus mengasihi kita bahkan di tengah segala persoalan hidup. Pengharapan kita ada di dalam Tuhan yang memilih untuk terus berkata, “engkau milik kesayanganku yang berharga,” bahkan di tengah segala kegagalan kita. Bahkan ketika maut menjemput kita, suara yang sama akan tetap kita dengar dari Tuhan: “Engkau milikku yang berharga.” Di tengah pergumulan menghadapi pandemi Covid-19 mematikan, bukankah ini fakta yang melegakan dan menguatkan? Ditulis oleh: Pdt. Lucky Samuel

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?