Melampaui Keseruan Board Game

Thursday, 12 November 2020


The Queen’s Gambit atau Gambit Menteri Istilah ini pasti sudah tidak asing lagi bagi para pecinta permainan papan strategi—catur, di mana pemain (biasanya pemegang bidak putih) berupaya mengorbankan satu atau dua bidak di fase awal dengan harapan dapat mencapai posisi yang menguntungkan kemudian. Tentunya saya di sini bukan untuk mengajar teknik bermain catur, karena permainan papan bukan keahlian saya. Istilah di atas saya dapatkan dari salah satu layanan streaming film berlangganan terpopuler di dunia, yakni Netflix. Tepat 23 Oktober 2020 lalu Netflix merilis serial drama barat singkat berjudul The Queen’s Gambit; mengisahkan tentang seorang anak perempuan bernama Elizabeth Harmon yang ditinggal oleh ibunya akibat kecelakaan mobil, sehingga ia harus masuk ke panti asuhan wanita. Di tempat perhentian yang baginya terasa sangat menyedihkan itulah, ternyata menjadi awal mula karirnya sebagai seorang pemain catur profesional kelas dunia. Beth kecil, di dalam kesendiriannya, bertemu dengan seorang bapak tua pemelihara gedung panti yang memperkenalkannya kepada catur. Tak ada hari yang dilewati tanpa menggali informasi tentang catur, sampai titik ini Beth cukup terobsesi hingga menghalalkan segala cara agar terus bersinggungan dengan dunia permainan papan dan pion itu. Sekilas kisah obsesi Beth terhadap suatu permainan papan menghidupkan kembali ingatan masa kecil saya, di mana ketika musim libur sekolah tiba, keluarga besar saya akan berkumpul di suatu tempat selama beberapa hari untuk saling bercengkrama. Pada masa itu, permainan video konsol belum marak -- sehingga hal yang kami, para anak, sangat nantikan, bahkan sebelum tiba di tempat tujuan, adalah waktu bermain permainan papan (board game). Sembari orang-orang dewasa melakukan hal yang menurut kami tidak terlalu menarik—duduk-duduk di teras sambil berbincang santai memandang jalanan, kami tanpa basa-basi berlomba mengeluarkan permainan papan dari tas kami, ada monopoli, ular tangga, halma, ludo, catur, dan masih banyak lagi. Rutinitas kami selalu sama; bangun pagi, sebelum mandi, main board game; selesai makan siang, masih ada waktu luang, main board game lagi; malam hari sebelum tidur main board game lagi. Hal itu berulang terus sampai hari terakhir kepulangan kami menuju rumah masing-masing. Kami memang tidak terobsesi seperti Beth, tetapi kami juga jauh dari kata bosan, padahal permainannya hanya berputar-putar di papan karton itu saja. Terlepas dari keseruan permainan masa kecil kami, saya rasa sekarang saya sama sekali kehilangan ketertarikan terhadap permainan papan. Waktu yang terus bergulir memberi efek samping yang tak terhindarkan pada kehidupan setiap kami. Kami yang dulunya hidup tanpa kekhawatiran, sekarang memiliki tanggung jawab lebih seiring dengan bertambahnya usia, jam main sudah semakin berkurang atau mungkin tidak tersisa barang sedetikpun, zaman dan tren juga banyak berubah. Jika saudara-saudara saya mengundang saya ke rumahnya hanya untuk bermain board game, saya akan dengan tegas menolak datang, bisa dibilang saya bahkan menghindari permainan semacam itu. Tidak sampai di situ, ketika ada rekan yang berusaha menjelaskan aturan main dan berbagi serunya pencapaian akhir dari suatu permainan papan, saya hanya ingin satu putaran ini cepat berlalu, saya lebih nyaman duduk dan menonton mereka. Bukan karena saya tidak ingin menghabiskan waktu bersama, hanya saja pengalaman menyenangkan bermain board game tidak lagi relevan guna menghibur saya. Melirik pengalaman saya dengan board game, mungkin hal serupa terjadi pada Kekristenan. Akhir-akhir ini banyak dari kita, orang percaya, yang menjalani hidup dengan tidak merasakan apa-apa setelah menjadi Kristen belasan bahkan puluhan tahun, toh tanpa hal-hal “berbau” Kekristenan kehidupan kita masih berjalan lancar; beberapa dari kita berpandangan Tuhan Yesus memang Pribadi yang baik, tapi pengajaran-Nya tidak banyak memberikan dampak pada kehidupan masyarakat modern; nilai kehidupan kita mengalami degradasi menjadi sebatas “lakukan apa yang kita mau selama kita tidak menyakiti siapapun.” Bolehkah kita bersama mengingat sejenak momen pertama kita menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi? Sepertinya kita cukup menggebu-gebu di hari itu. Kemudian ketika kita mengambil komitmen untuk dibaptis, hati kita yang dingin kembali dihangatkan, kita rindu menghabiskan waktu di gereja bertemu dengan rekan-rekan seiman agar dapat terus bertumbuh mengenal Tuhan. Namun entah berapa lama kobaran itu bertahan di dalam jiwa kita sebelum akhirnya padam oleh kesibukan/ketertarikan terhadap hal lain. Kalau saya boleh menyimpulkan, lama-kelamaan bagi kita Kekristenan hanya menjadi sebuah aturan membosankan atau tuntutan yang harus dipenuhi. Hari-hari melelahkan telah menanti ketika pemimpin-pemimpin gerejawi mulai membina kita mengenai hal-hal terkait Kekristenan. Karena pada akhirnya kita menimbang-nimbang bahwa nilai-nilai Kekristenan dirasa tidak cukup relevan dengan kehidupan yang ingin kita jalani di masyarakat setelah kita beranjak dewasa. Sungguh ironi bukan menyaksikan Kekristenan tidak memiliki nilai yang berbeda jauh dengan permainan papan di masa kecil saya? Tidak lagi relevan dan terasa hambar. Kondisi tidak relevan seperti kedua peristiwa di atas biasanya diakibatkan oleh ketertarikan yang berbeda antara pihak yang satu dengan yang lain. Namun sejatinya, ketika seseorang meneriakkan suatu hal tidak lagi relevan baginya, bukan berarti hal itu benar-benar menjadi tidak relevan. Dalam kasus saya dan board game, Anda masih bisa berbagi apapun kepada saya tentang board game, hanya saja saya tidak yakin akan melakukan apa yang telah Anda katakan dan bagikan. Buat saya board game hanya menjadi pembahasan yang tidak akan mencuri perhatian saya. Lantas, apakah karena penolakan saya terhadap board game, lalu board game menjadi tidak relevan bagi semua orang? Tentu tidak, karena ada banyak orang yang tetap merasakan kenikmatan dari bermain board game. Dengan kata lain, “Kita harus menerima fakta bahwa tidak semua orang tertarik kepada Tuhan,” ujar Francis Chan dalam bukunya Letters to the Church; “Tugas kita adalah menyatakan Tuhan kepada orang-orang, dan satu-satunya hal yang perlu dipastikan adalah meyakinkan diri kita bahwa sungguh-sungguh Tuhanlah yang kita jadikan sorotan.” [terjemahan bebas oleh penulis] Kalau orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap board game bisa berbagi keseruan dan tidak bosan-bosannya menjelaskan aturan permainan beserta kesenangan di dalamnya, tidak bisakah kita, yang pernah mengaku mengalami Kristus yang mengubahkan hidup, menyatakan betapa serunya hidup bersama Tuhan? Tidak bisakah kita menjadi representasi kasih Allah di saat orang datang menghampiri kita karena keterpurukannya? Dalam beberapa minggu lagi kita akan memperingati hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Mirip seperti strategi “The Queen’s Gambit” tentunya dengan maksud yang jauh berbeda, Allah telah lebih dahulu mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal datang ke dunia untuk mati di kayu salib (Yoh 3:16)? Bukan demi keuntungan-Nya semata, melainkan demi kita manusia berdosa yang hari ini menganggap kehadiran Kristus tidak lagi relevan. Saya tahu mungkin hal ini terdengar klise, akan tetapi kembali membuka diri di hadapan Tuhan dan mengakui kelemahan kita merupakan sebuah pilihan yang paling tepat untuk kembali memandang Tuhan sebagai Tuhan yang hidup dan turut bekerja bagi orang-orang yang percaya dan mengasihi-Nya (Roma 8:28). Memang kalimat yang mudah dikatakan, namun menjalankannya tidak sesederhana kelihatannya. Berangkat dari titik itu, mari kita maknai lagi kehadiran Kristus dalam hidup kita. Karena melihat semua kebobrokan ini, bukankah justru mempertahankan pemberitaan Injil adalah satu-satunya hal yang paling relevan dalam hidup kita dan sesama?

Kami Peduli

Masukkan Alamat E-mail Anda untuk berlangganan dengan website Kami.

Apakah anda anggota jemaat GKY Mangga Besar?